Jumat, 01 Februari 2013

Setangkai Edelweis Putih

Cerpen: Qizink La Aziva

Kawah Jongring Saloka kembali menyemburkan asap hitamnya, bahkan lebih besar dari semburannya yang pertama. Asap hitam menutupi pandanganku, badai pun datang menerjang!

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Hari mulai senja ketika kami sampai di daerah Kalimati. Perlahan matahari beringsut ke pembaringannya, kemudian langit pun berubah menjadi warna merah jingga.

"Kita istirahat di sini saja," ucap Ozy yang ditunjuk sebagai ketua kelompok pendakian.

"Cari tempat yang asyik, Zy!" usul Kimung.

"Oke, kita dirikan tenda di sekitar Sumber Mani saja, agar kita tidak repot mengambil air," ucapku menyarankan. Ozy dan Kimung mengangguk menyetujui saranku.

Setelah menemui tempat yang cocok di sekitar Sumber Mani, kami segera mendirikan tenda. Dalam sekejap tenda pun berdiri. Kimung langsung rebahan melepas lelah, Ozy memeriksa perlengkapan pendakian, aku menyiapkan makanan. Kalimati adalah tempat istirahat terakhir bagi para pendaki sebelum melanjutkan perjalanannya menuju puncak Gunung Semeru. Daerah ini dikelilingi hutan alam dan bukit-bukit rendah.

"Cuaca kayaknya bagus nih, Kuh," ucapku Ozy sambil duduk di sampingku. Lalu menyeruput kopi hangat yang baru saja aku sajikan.

"Semoga saja, Zy. Tapi alam selalu memiliki misteri yang sulit kita tebak," ucapku pelan.

Ozy tersenyum mendengar penuturanku, mulutnya asyik mengunyah coklat kesukaannya. Malam terus beranjak, bulan penuh. Cuaca dingin mulai menyelimuti sekitar Kalimati.

"Zy, gue mau jalan dulu!"

"Kemana, Kuh? tanyanya.

"Taman Edelweis," sahutku.

"Hati-hati, Kuh!" Ozy memperingatkan. "Jangan lama-lama di sana. Kamu kudu istirahat. Jam satu kita mulai mendaki," lanjut Ozy.

"Oke deh."

"Eh, tunggu Kuh!" teriak Ozy ketika aku mulai berjalan.

"Ada apa,Zy?" tanyaku.

"Jangan merusak lingkungan! Awas kalau lo sampai memetik bunga-bunga Edelweis itu!" ujar Ozy kembali mengingatkan.

Aku tersenyum, lalu menganggukan kepala. Tentu saja hal itu tidak akan kulakukan. Sebagai pencinta alam, memetik bunga Edelweis yang merupakan bunga langka itu termasuk merusak lingkungan, dan hal itu tentu sebuah larangan bagi pecinta alam. Kulanjutkan langkahku menuju taman Edelweis. Tak butuh banyak waktu untuk sampai ke tempat itu, hanya sekitar lima menit perjalanan dari tendaku.

Taman Edelweis merupakan hamparan lahan seluas kurang lebih 20 hektar yang dipenuhi oleh bunga-bunga Edelweis Putih (Anaphalis javanica). Kurasakan kedamaian ketika aku sampai di tangah-tengah Taman Edelweis. Tangkai Edelweis yang lincah menari ditiup angin, membuatku semakin terpesona akan keindahan semesta. Dalam hati kusebutkan nama Tuhanku, sebagai rasa kekagumanku pada ciptaan-Nya.

Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang, wangi bunga memenuhi rongga penciumanku.

"Hai....," satu suara sangat lembut menyentuh gendang telingaku. Aku terkejut satu sosok perempuan telah berdiri di sampingku. Aku tak tahu sejak kapan perempuan itu ada di smpingku!.

"Maaf, mungkin aku mengejutkanmu," ujarnnya.

"Siapa kamu?" tanyaku.

"Diana," sahutnya singkat.

"Kukuh," ucapku sambil mengulurkan telapak tanganku. Diana menyambut uluran tanganku. Tangan terasa dingin saat kugenggam. Kupandangi wajah Diana, rambutnya yang panjang bergerai tertiup angin. Matanya begitu bening dan tajam memandang. Ah... kau bagai bidadari di taman surgawi! Gumamku dalam hati.

"Kuh, kamu mau naik ke atas?" ucap Diana menanyakan rencanaku. Aku mengangguk. Diana memetik setangkai Edelweis Putih yag ada di dekatnya. Aku merasa bersalah karena terlambat mencegah Diana memetik Edelweis itu.

"Aku tahu kamu tak suka dengan perbuatanku ini," ucap Diana seakan mengetahui perasaanku. "Tapi kuharap kau mau menerima bunga ini sebagai kenang-kenangan atas perkenalan kita ini," lanjut Diana.

Aku seperti kerbau dicucuk hidungnya, menerima pemberian Diana. Aku kembali sendiri di taman edelweis. Diana pergi bersamaan dengan malam yang semakin larut.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Lepas tengah malam. Setelah membongkar dan merapikan tenda, setelah mempersiapkan semua perlengkapan mendaki. Aku, Kimung, dan Ozy memulai pendakian ke puncak Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Satu setengah jam kemudian aku sampai di lereng Gunung Semeru. Jalan Menuju Surga, demikianlah para pendaki menyebut jalan setapak di lereng Semeru ini.

Malam yang mulai gelap. Gunung Semeru bagaikan raksasa hitam menjulang tinggi ke angkasa. Kami mulai hati-hati menapaki jalansetapak yang berpsir.

"Kuh, Mung, hati-hati melangkah! Jangan sampai tergelincir!" ujar Ozy yang berada di depanku memecah keheningan malam. Dengan bantuan lampu senter, perlahan kami menapaki jalur pendakian. Angin berhembus makin kencang, aku mulai kedinginan. Tapi semangatku untuk sampai ke puncak Semeru memupus rasa gigil di tubuhku.

Menjelang pagi, kami sampai di puncak Semeru. Rasa lelah pun sirna, berganti dengan haru bahagia dan bangga, berhasil sampai ke puncak Semeru setelah berjuang melawan alam dan emosi jiwa. Panorama tampak bagitu indah untuk dinikmati dari puncak Semeru. Puncak-puncak gunung di Jawa Timur, garis-garis pantai, lampu-lampu kota yang belum padam, juga saat fajar mulai terbit dari ufuk timur. Aku bersujud, dan mulutku tak henti memuji Kebesaran Tuhan!

Ozy menancapkan bendera kelompok pecinta alam kami. Setelah itu kami bergantian mengabadikan kebahagiaan ini dengan berfoto. Namun tiba-tiba, kawah Jonggring Saloka menyemburkan asap hitamnya, asap itu mulai tebal membumbung tinggi hingga ke angkasa. Kasawan Semeru terselimuti asap hitam bercampur debu. Kami panik, berlari berusaha menyelamatkan diri. Begitu pun dengan para pendaki yang kutemui, lari tunggang-langgang.

Di tengah jalan, samar-samar aku melihat sosok perempuan yang sedang berdiri mematung di bibir kawah Jonggring Saloka, sosok Diana. "Diana....." teriakku sangat kencang, tapi Diana tetap tak bergeming. Segera aku berlari menuju Diana. Aku tak menghiraukan saat Ozy berusaha mencegahku berlari menuju kawah Jonggring Saloka, menyusul Diana.

Kawah Jonggring Saloka kembali menyemburkan asap hitamnya, bahkan lebih besar dari semburan yang pertama. Asap hitam menutupi pandanganku, badai pun datang menerjang! "Aaaaaggghhh...." pekikku saat kurasakan tubuhku meluncur ke bawah.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Aku membuka mata. Cahaya matahari menyengat kulit mukaku. Beberapa orang berdiri berkerumun di sekelilingku. Ozy menatapku dengan wajah cemas. "Ada apa, Zy?"

"Semalam kamu terjebak asap hitam di puncak Semeru, lalu tergelincir. Untung saja kamu cuma pingsan, Kuh."

"Aku mendesah. Mataku memandangi satu-persatu orang yang berdiri di sekelilingku. Tapi aku tak melihat Diana di antara mereka. "Diana.... ada yang melihat Diana?"

"Diana!" celetuk seorang petugas posko yang sedari tadi berdiri didekatku. Ozy menatapku dengan tatapan keheranan.

"Kamu kenal Diana?" tanyaku penasaran pada petugas posko. Lelaki bertopi rimba itu mengangguk pelan. Tangannya menyerahkan selembar kertas foto padaku, aku menerimanya. Kulihat sosok Diana pada kertas foto tersebut.

"Gimana keadaan Diana sekarang?" tanyaku tak sabar.

Petugas posko itu menarik napas berat. "Diana telah lama meninggal dunia!" ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Apa?" sentakku tak percaya.

"Setahun yang lalu. Diana, kekasihku memaksaku untuk mengajaknya ke puncak Semeru. Aku tak sanggup untuk menolak keinginannya. Saat itu aku merasa khawatir. DAn kekhawatiranku terbukti. Diana mengalami kecelakaan saat kami di puncak Semeru. Tubuhnya hancur tertimpa batu vulkanik yang disemburkan kawah Jonggring Saloka!" cerita petugas posko.

Aku mendesah, masih juga tak percaya. Apalagi di saku celanaku masih ada setangkai edelweis putih pemberian Diana!

Kamis, 18 Oktober 2012

Sekilas Sosok Kiai Marogan

Masjid Kiyai Marogan

Oleh : Yasir Amri

Kiyai Marogan sebenarnya bernama lengkap Masagus H. Abdul Hamid bin Masagus H. Mahmud. Namun bagi masyarakat Palembang, julukan “Kiai Marogan” lebih terkenal dibanding nama lengkapnya. Julukan Kiai Marogan dikarenakan lokasi masjid dan makamnya terletak di Muara sungai Ogan, anak sungai Musi, Kertapati Palembang. Mengenai waktu kelahirannya, tidak ditemukan catatan yang pasti. Ada yang mengatakan, ia lahir sekitar tahun 1811, dan ada pula tahun 1802.

Namun menurut sumber lisan dari zuriatnya, dan dihitung dari tahun wafatnya dalam usia 89 tahun, maka yang tepat adalah ia lahir tahun 1802, dan meninggal dunia pada 17 Rajab 1319 H yang bertepatan dengan 31 Oktober 1901.

Pada waktu Kiai Marogan lahir, kesultanan Palembang sedang dalam peperangan yang sengit dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dilahirkan oleh seorang ibu bernama Perawati yang keturunan Cina, dan Ayah yang bernama Masagus H. Mahmud alias Kanang, keturunan priyayi atau ningrat. Dari surat panjang hasil keputusan Mahkamah Agama Saudi Arabia, diketahui silsilah keturunan Masagus H. Mahmud berasal dari sultan-sultan Palembang yang bernama susuhunan Abdurrahman Candi Walang.

Sultan Palembang memiliki garis keturunan dari Wali Songo—melalui Sunan Giri Ainul Yakin—dan merupakan keturunan Nabi Muhammad saw melalui jalur Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Dari kedua orang tuanya, Kiai Marogan hanya memiliki seorang adik yang bernama Masagus KH. Abdul Aziz, yang juga menjadi seorang ulama dengan sebutan Kiai Mudo. Sebutan ini dikarenakan ia lebih muda dari Kiai Marogan. Kiai Mudo lebih dikenal di daerah Muara Enim seperti Gumay, Kertomulyo, Betung, Sukarame, Gelumbang, Lembak dan sekitarnya. Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan dari keluarga bangsawan, Kiai Marogan memperoleh pendidikan agama dengan istimewa.

Hal ini dikarenakan di dalam lingkungan kesultanan Palembang, agama Islam mempunyai tempat yang terhormat, di mana hubungan antara negara dan agama sangat erat, sebagaimana dibuktikan oleh birokrasi agama di istana Palembang. Birokrasi ini dipimpin oleh seorang pegawai dengan gelar Pangeran Penghulu Naga Agama. Di samping itu, Kiai Marogan memperoleh pendidikan langsung dari orang tuanya yang ternyata merupakan seorang ulama besar yang lama belajar di Mekah dibawah bimbingan ulama besar seperti Syekh Abdush Shomad al-Falimbani. Setelah wafat, ayah Kiai Marogan dimakamkan di negeri Aden, Yaman Selatan. Melihat kecerdasan Kiai Marogan dalam menyerap ilmu agama kemudian orang tuanya mengirimkannya ke Mekah untuk belajar mendalami ilmu-ilmu agama.

Kiai Marogan tercatat pernah belajar ilmu-ilmu agama seperti ilmu fiqih, hadits dan tasawuf. Hal ini dapat diperoleh dari isnad-isnad yang ditulis oleh Syekh Yasin al-Fadani, mudir (pimpinan) Madrasah Darul Ulum Mekah. Kiai Marogan memiliki dua orang isteri yang bernama Masayu Maznah dan Raden Ayu salmah. Dari pernikahannya ia dikarunia tiga putra putri yaitu Masagus H. Abu Mansyur, Masagus H. Usman, dan Masayu Zuhro. Pada masa mudanya Kiai Marogan dikenal giat berbisnis di bidang saw-mill atau perkayuan. Ia memiliki dua buah pabrik penggergajian kayu. Bakat bisnis mungkin diperoleh dari ibunya yang merupakan keturunan Cina. Berkat sukses dalam bisnis kayu ini memungkinkan Kiai Marogan untuk pulang pergi ke tanah suci dan menjalankan kegiatan penyebaran dakwah di pedalaman Sumatra Selatan. Dari hasil usaha kayu ini juga Kiai Marogan mampu mendirikan sejumlah masjid yang diperuntukkan sebagai pusat pengajian dan dakwah.

Banyak ajaran Kiai Marogan yang masih melekat di sebagian penduduk Palembang, di antaranya adalah sebuah zikir yang hebat: “La ilaha Illallahul Malikul Haqqul Mubin Muhammadur Rasulullah Shadiqul Wa’dul Amin”, yang berarti “Tiada Tuhan Selain Allah, Raja Yang Benar dan Nyata, Muhammad adalah Rasulullah Yang Jujur dan Amanah.” Zikir yang diamalkan oleh Kiai Marogan di atas, ternyata sumbernya di dalam hadits. Dari Sayyidina Ali Ra Karramallahu wajhahu berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa setiap hari membaca 100 x Lailahaillah al-Maliku al-Haqqu al-Mubin, maka ia akan aman dari kefakiran, jadi kaya, tenang di alam kubur, dan mengetuk pintu surga.

Menurut kesimpulan penulis, selain berniaga kayu dengan mengamalkan zikir ini Kiai Marogan dianugerahi dan dibanjiri rezeki yang melimpah baik semasa hidup maupun setelah wafat hatta setelah 1 abad yang lalu dengan meninggalkan warisan untuk anak cucunya yang belum habis-habis hingga sekarang.

Konon, amalan zikir ini dibaca oleh Kiai Marogan dan murid-muridnya dalam perjalanan di atas perahu. Sambil mengayuh perahu, beliau menyuruh murid-muridnya mengucapkan zikir tersebut berulang-ulang sepanjang perjalanan dengan suara lantang. Zikir ini dapat menjadi tanda dan ciri khas penduduk apabila ingin mengetahui Kiai Marogan melewati daerahnya.Amalan zikir ini ternyata sampai sekarang masih dibaca oleh Wong Palembang, khususnya kaum Ibu-ibu ketika menggendong anak bayi untuk menimang atau menidurkan anaknya dengan irama yang khas dan berulang-ulang.

Dalam berdakwah Kiai Marogan menitikberatkan pada sikap zuhud dan kesufian dengan memperkuat keimanan. Hal ini dikarenakan pengaruh dari ajaran tarekat yang ia amalkan.Di dalam buku, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Martin van Bruinessen memasukkan nama Kyai Marogan (Masagus H. Abdul Hamid) sebagai salah seorang guru dari tarekat Sammaniyah. Ia mempelajari tarekat Sammaniyah dari orang tuanya sendiri, yang berguru kepada Syekh Muhammad Aqib dan Syekh Abdush Shomad Al-Falimbani.Menurut istilah di dalam ilmu tasawuf, tarekat ialah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju Allah SWT.

Perjalanan mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk beluknya. Dan tujuan dari tarekat adalah menciptakan moral yang mulia.Sebagaimana diketahui bahwa di daerah Palembang sejak masa kesultanan Palembang tarekat Sammaniyah telah menyebar secara luas dibawa oleh Syekh Abdush Shomad Al-Falimbani murid dari pendirinya Syekh Muhammad Abdul Karim Samman. Hampir seluruh masjid tua di Palembang, membaca ratib Samman yaitu bacaan yang meliputi syahadat, surah al-Qur’an dan bacaan zikir yang disertai gerak dan sikap yang khas tarekat Samman.Tidak ditemukan kitab yang dapat diidentifikasi sebagai karya Kiai Marogan. Meskipun menurut penuturan dari zuriyatnya bahwa Kiai Marogan pernah menulis kitab tasawuf. Akan tetapi, yang dapat diketahui adalah Kiai Marogan meninggalkan beberapa bangunan masjid yang besar dan bersejarah. Yaitu masjid Jami’ Muara Ogan di Kertapati Palembang dan masjid Lawang Kidul di 5 Ilir Palembang.

Menurut cicitnya, Masagus H. Abdul Karim Dung, selain kedua masjid di atas, Kiai Marogan juga membangun beberapa masjid lagi seperti masjid di dusun Pedu Pedalaman OKI, masjid di dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir OKI, Mushalla di 5 Ulu Laut Palembang, masjid Sungai Rotan Jejawi, masjid Talang Pangeran Pemulutan. Namun, pernyataan dari cicitnya ini belum dapat dibuktikan secara empiris, perlu dilakukan penelitian dan peninjauan lebih lanjut. Sedangkan kedua masjid yaitu masjid Jami’ Muara Ogan dan masjid Lawang Kidul yang berada di kota Palembang, dapat dibuktikan melalui surat Nazar Munjaz atau surat Wakaf yang ditandatangani oleh Kiai Marogan langsung.

-------------------
Berita Musi

Senin, 15 Oktober 2012

Target Keruk Satu Juta Lumpur

Pada tiga Lokasi di Muara Musi

PALEMBANG -- Administrator Pelabuhan (Adpel) Palembang pasang target mengeruk satu juta meter kubik lumpur yang berada di dasar muara Sungai Musi. Ada tiga lokasi pengerukan, yakni ambang luar C2, C3, dan selat Jaran.

Pengerukan menggunakan kapal TSHD Perintis 2000 dan TSHD Inai Kesuma. “Kami mampu mengeruk lumpur satu juta meter kubuk pada tiga lokasi tersebut. Kapal Perintis 2000 mampu mengeruk sekitar 18.150 meter kubik per hari, sedang kapal TSHD Inai Kesuma 11.550 meter kubik,” kata Bakri, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengerukan Sungai Musi, kemarin ( 11/10).

Kapal Perintis 2000 melakukan penghisapan lumpur di dasar Selat Jaran. Lumpur yang didapat lalu diangkut ke dumping area (lokasi pembuangan, red) yang berjarak sekitar 6 km. Lumpur campur pasir itu dibuang dengan sistem open buttom (buka tutup, red) pada bagian bawah kapal.

“Hanya dibutuhkan waktu sekitar lima menit saja, seluruh lumpur yang disedot bisa langsung terbuang,” jelas Bakri. Sementara, kapal TSHD Inai Kesuma melakukan pengerukan di ambang luar Sungai Musi C2 dan C3. Prosesnya menerapkan cara yang sama, hanya pembuangan lumpurnya dengan sistem pompa. Dibutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk seluruh lumpur dibuang dari kapal.

Proyek pengerukan ini diperkirakan rampung 30 Oktober mendatang. Jika pekerjaan ini selesai, kedalaman ambang luar C2 dan C3 serta Selat Jaran bisa mencapai 6-7 meter saat posisi air surut. “Kapal berukuran draf tujuh bisa melintasi alur pelayaran tersebut,” ucapnya.

Dari hasil survei yang dilaksanakan Adpel setiap tahunnya, diketahui ada beberapa titik alur pelayaran yang dangkal. Di antaranya, ambang luar Sungai Musi (C2 dan C3), utara dan selatan Payung, penyeberangan Upang, Selat Jaran, Muara Kumbang serta Sungai Lais.

Sebenarnya, kata Bakri, pelaksanaan pengerukan tersebut tidaklah optimal untuk mengatasi masalah sedimentasi di muara Sungai Musi. Pasalnya, sedimentasi di muara Sungai musi sebagai lokasi pertemuan arus Sungai Banyuasin dan Sungai Musi sangatlah tinggi.

“Diperkirakan, tingkat sedimentasinya mencapai 20 cm per bulan. Artinya, bila pengerukan dilakukan satu tahun sekali, pendangkalannya sekitar 2, 4 meter,” bebernya. Karena itu, sudah semestinya Adpel Palembang memiliki kapal keruk sendiri sehingga pengerukan alur pelayaran bisa dilakukan lebih sering. ”Harga kapal keruk sangat mahal sehingga jumlah yang ada sekarang sangat minim,” tambahnya. Sementara itu, Kasubdit Pengerukan Ditjen Perhubungan Laut, Ir Erlan Abbas MM mengatakan, hari ini pihaknya berencana akan meninjau pelaksanaan pengerukan ketiga lokasi tersebut. (yud/ce2)

Sumatera Ekspres, Jumat, 12 Oktober 2012

Minggu, 14 Oktober 2012

River Side Resto Terapung di Tepi Musi

River Side Resto

Restoran ini bukan hanya terapung, tapi juga menyediakan kapal motor yang bisa disulap menjadi tempat makan prasmanan. Lengkap dengan sebuah dermaga kecil yang akan mengantar pengunjungnya berwisata air di sekitar Musi.

Rasanya tidak sempurna jika jalan-jalan ke Palembang, tanpa mampir ke restoran terapung di tepi Sungai Musi ini. Ya, River Side namanya. Letaknya berada condong ke bibir sungai ternama itu dan tidak jauh dari Benteng Kuto Besak. Panoramanya, sungguh luar biasa. Apalagi restoran ini berada tidak jauh dari jembatan Ampera yang mempesona dengan lampu-lampunya termasuk dari kapal-kapal yang berada di sekitarnya ketika malam hari. Sebuah pemandangan yang menakjubkan dan menambah selera makan.

Restoran ini, kata Eddy Boy, Manager River Side telah beroperasi sejak Maret 2008. Ketika itu, bertepatan dengan tahun pencanangan "Visit Musi". River Side seakan muncul sebagai representasi tempat kuliner khas Palembang sesungguhnya dan berada dekat dengan ikon kota tersebut. Akhirnya, River Side kerap menjadi referensi dan persinggahan terakhir dari tur bila ada agen wisataa yang membawa para pelancongnya.

River Side bukan hanya menjual suasana. Fasilitasnya juga cukup lengkap. Kapasitasnya bisa mencapai 500 orang yang dibagi dalam beberapa ruangan yang diberi nama-nama ikan. Ruang pertama, misalnya, bernama Betutu atau kerap disebut orang Palembang sebagai “ikan malas”. Kemudian ada Ruang Seruang, dan ruang VIP bernama Ruang Betok.

Ruang Betok ini berkapasitas 75 orang dengan fasilita full AC, dan sound system. Kesannya eksklusif dan mengutamakan privasi. Sedangkan Ruang Betutu berada di lantai dua beranda restoran. Tempat ini berbatasan langsung dengan bibir sungai alias dirancang terapung. Ruang ini berkapasitas 200 orang dan menjadi tempat live music digelar. Di lantai dua ini, pengunjung juga bisa menemukan Ruang Seluang. Berkapasitas 250 orang di mana para pengunjung bisa bersantap sambil menikmati pemandangan Sungai Musi yang romantis.

Di ruang terakhir adalah dermaga. Tempat ini berkapasitas 250 orang. "Ruang Betutu dan Ruang Seruang lebih berkesan formal. Kalau mau bersantai, pengunjung bisa mengambil tempat di teras. Karena didesain terbuka dan santai," tambah Eddy.

Selain menjadi tempat makan favorit, River Side kerap dijadikan tempat menggelar perayaan ulang tahun, pesta pernikahan, atau acara-acara komunitas dan pemerintahan. "Restoran ini cocok hanya makan, acara formal, atau bersenang-senang dan santai," ujar Eddy.

Mungkin ada pengunjung yang khawatir soal sisi keamanan karena restoran ini terapung. Soal itu, jangan khawatir, sebab, kata Eddy, fondasi dan konstruksi restoran ini terbuat dari besi baja yang kuat. Meski baja-baja penyangga itu tidak dicor, tapi ditancapkan. Sebab, ada ketentuan dari Pemerintah Daerah Sumatera Selatan tidak boleh ada pengecoran di sepanjang bibir Sungai Musi.

River Side Resto

Dermaga Kecil



Yang menarik dari restoran ini adalah keberadaan centre point alias dermaga kecil agar perahu pengunjung yang ingin ke restoran dapat langsung merapat. Artinya, akses ke restoran tidak selalu harus dari jalan darat. Centre point itu dibuat lantaran kadang pengunjung yang sedang berwisata mengitari Sungai Musi, ingin segera makan.

Kunjungan itu biasanya datang dari wisatawan yang mampir ke Pulau Kemarau, pulau yang berada di tengah Sungai Musi. Pulau itu merupakan salah satu objek wisata terkenal di Palembang. Sebab, di sana dapat ditemui orang-orang keturunan lengkap dengan klenteng, prasasti kuno, dan tanaman bernama "pohon cinta".

Wisata Air


Untuk menuju ke Pulau Kemarau dapat ditempuh dengan menggunakan kapal motor berkapasitas 60-80 orang dengan jarak tempuh selama 2,5 jam. River Side menyediakan kapal motor tersebut. Jika ingin makan sambil berwisata, setiap pengunjungi bisa menggunakan kapal tersebut.

Soal tarif seharga 3,5 juta rupiah untuk rombongan. Kalau menggunakan kapal motor yang lebih kecil cukup 400 ribu rupiah. Mahal? Sebentar, harga itu sudah termasuk tour guide, solo organ, ruangan ber-AC (kapal motor besar), dan smooking area. noverta salyadi dan frans ekodhanto.

Ada Menu Ikan Malas



Mahal karena ikannya sudah sulit ditemui.
Selain pemandangannya elok, yakni Jembatan Ampera dan Sungai Musi, River Side juga memiliki menu khas Palembang yang sesungguhnya. Salah satunya yang favorit adalah Ekor Tenggiri Bakar. Ya, ekor ikan tenggriri yang beratnya sekitar satu kilogram itu dipotong kemudian dibentuk menyerupai kipas lalu dibakar dengan bumbu khusus. Sedangkan daging ikannya, biasanya dipisahkan untuk dinikmati dalam bentuk lain, yakni pempek dan sebagainya.

Kurang suka ikan? Anda juga bisa menikmati udang atau sotong segar yang ditangkap langsung dari Sungai Musi begitu ada yang memesan. Udang dan sotong itu bisa dimasak sesuai permintaan. Ada yang digoreng mentega atau khas bumbu Palembang, seperti Udang/Sotong Saos Kuto Besak. Menu ini segar dan mengundang selera. Cocok untuk mereka yang suka rasa manis pedas.

Ada pula kepiting yang langsung didatangkan dari Muara Sungsang. Kepiting ini rasanya sangat manis dan segar karena tinggal di hutan bakau yang berada di Muara Sungsang, muara yang berhubungan dengan Selat Bangka. Setiap menu dibanderol sesuai berat seafood yang akan diolah. Sebagai gambaran, Ikan Betutu atau Ikan Mala situ seharga 38 ribu rupiah per ons. Mahal? Bisa jadi ya, tapi Anda perlu tahu bahwa Betutu termasuk ikan yang sulit ditemui alias langka.

Sebagai hidangan penutup, Anda bisa memesan aneka buah lokal seperti potongan sawo, kesemek, papaya, duku, atau durian khas Palembang. Kalau ingin yang dingin-dingin bisa mencoba Es ala River Side yang terbuat dari campuran jeruk kunci dibelender bersama kulitnya. Rasanya asam, manis, dan menyegarkan. noverta salyadi dan frans ekodhanto.